NEUROLOGI, SEMARANG – Ingatan atau memori dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah usia. Pada penuaan, dengan semakin bertambah usia seseorang, berbagai macam proses dan reaksi kimia yang terjadi di organ vital mengalami perubahan, tak terkecuali otak. Otak berperan sebagai pusat kendali tubuh dan menyusun sistem saraf pusat termasuk mengatur fungsi kognitif, dan bilamana ini terganggu atau mengalami kerusakan maka dapat mengakibatkan kondisi Demensia. Demensia merupakan kondisi pikun yang patologis. Istilah pikun lebih jamak digunakan di masyarakat merujuk pada suatu kondisi memori yang menurun. Masyarakat awam menganggap pikun sebagai sesuatu yang wajar dialami oleh lansia akibat pertambahan usia, dan pikun merupakan efek penuaan yang tidak dapat dihindari.
“Pikun erat kaitannya dengan penuruan daya ingat, sementara Demensia sendiri tidak melulu karena adanya gangguan daya ingat atau memori tetapi ada gejala lain yang dialami oleh pasien selain penurunan daya ingat” tutur dr. Arinta Puspita Wati, Sp.S, Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Universitas Diponegoro.
Lebih lanjut dr. Arinta mengatakan, gejala lain yang dialami pasien Demensia dapat berupa perubahan perilaku, gangguan tidur, emosi, marah-marah, gangguan berbahasa dan lain-lain. Terdapat berbagai jenis Demensia, Alzheimer merupakan jenis Demensia yang paling banyak ditemukan dan paling berat dengan gejala yang paling menonjol adalah gangguan memori (pelupa). Ada pula Demensia Vaskuler yaitu Demensia yang menyerang pasien-pasien pasca Stroke, Demensia pada penyakit Parkinson, biasanya ciri khas berupa tremor atau gemetar, Demensia Frontotemporal dan Demensia Lewy body.
“Pikun sebenarnya istilah yang sering kita dengar, tetapi pikun ini harus diperiksa lebih lanjut apakah ini Demensia atau bukan. Pikun yang masuk dalam Demensia, ciri-cirinya diantaranya adalah gangguan memori yang bersifat progresif (misalnya sering lupa naruh barang, sering lupa janji), keluyuran atau pergi tanpa tujuan yang jelas, perubahan perilaku (temperamen atau cenderung menarik diri), dan didapatkan gangguan pada aktivitas sehari-hari” tuturnya.
“Tindakan pencegahan dari penyakit ini antara lain gaya hidup yang baik, tidak merokok, mengkonsumsi makanan yang sehat, banyak sayur dan buah, olahraga teratur, jangan lupa menggunakan otak kita untuk berpikir atau jangan malas berpikir sehingga kita terhindar dari Demensia ini”, lanjut dr. Arinta.
Menurutnya di era pandemi, adanya telemedicine dapat membantu mempermudah pasien maupun keluarganya untuk berkonsultasi. Bagi pasien-pasien dengan Demensia, pengobatan yang berkelanjutan dapat memperlambat proses penyakit, mengurangi gejala, dapat meningkatkan kualitas hidup. Pasien perlu melakukan aktivitas yang berguna untuk merangsang dan melatih otaknya. Butuh pendampingan yang luar biasa bagi pasien Demensia apalagi bila sudah stadium lanjut, care giver (seseorang/keluarga yang merawat pasien) juga butuh support dan informasi yang baik dalam mendampingi pasien.
“Kita semua perlu mengenal dan aware terhadap penyakit Demensia ini, karena saat ini data di dunia menunjukkan setiap tiga detik ada 1 pasien baru dengan Demensia, dan penyakit Demensia ini mempunyai dampak yang sangat besar di berbagai aspek sehingga kita perlu memberikan tata laksana dengan baik. Jangan maklum dengan pikun” pesannya. (Tim Humas UNDIP)